Qanun Penyiaran Aceh, antara Harapan dan Pengabaian

Qanun Penyiaran Aceh, antara Harapan dan Pengabaian

Penegakan syariat Islam melalui penerapan sejumlah Qanun
canindonesia.com - Perlukah Qanun Penyiaran Aceh? Menjadi sebuah pertanyaan yang menarik diperbincangkan. Setelah sempat menuai kritik dari berbagai kalangan, terutama dari pengamat media dan pers pada tahun 2010 yang lalu.

Rancangan qanun kembali masuk ke dalam Program Legislasi Aceh (Prolega) 2014-2019, kini nasibnya tersebut terkatung-katung karena nampaknya tidak masuk ke dalam prioritas pembahasan di tahun 2016 ini.

Hal ini terlihat dari list 15 qanun yang prioritas di bahas pada tahun ini (lihat qanun prioritas 2016) sebagai turunan dari UU No.11 Tahun 2006, Pemerintah Aceh melalui KPID telah menyusun sebuah rancangan qanun yang disebut sebagai rancangan qanun program dan isi siaran lembaga penyiaran di Aceh dan telah di ajukan kepada DPRA untuk di bahas.

Dalam nasakah akademik waktu itu rancangan qanun ini disebutkan: “Berdasarkan hasil kajian, evaluasi dan monitoring yang telah dilakukan oleh berbagai pihak termasuk KPID Aceh memperlihatkan bahwa kondisi Aceh sangat rentan dengan masuknya budaya dan nilai-nilai
kehidupan yang tidak sesuai dengan kaidah dan Syariat Islam yang berlaku di Aceh. Semua itu pada akhirnya bermuara pada rusaknya generasi muda Aceh ke depan yang diakibatkan oleh pengaruh program dan isi siaran radio dan televisi.”

Artinya Syariat Islam menjadi alasan utama dalam penyusunan rancangan qanun (raqan) ini. UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 dianggap masih belum memenuhi kebutuhan peraturan penyiaran yang Islami di Aceh sehingga penyusunan raqan ini dianggap penting dan menjadi prioritas pemerintah Aceh.

Dalam UU Pemerintah Aceh, salah satu yang diatur adalah mengenai pelaksanaan penyiaran Islami di Aceh yang berada dalam Bab 21 mengenai Komunikasi dan Informatika pasal 153.

Pasal tersebut menjelaskan;

(1) Pemerintah Aceh mempunyai kewenangan menetapkan ketentuan di bidang pers dan penyiaran berdasarkan nilai Islam.
(2) Dalam rangka melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Aceh berkoordinasi dengan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Aceh menetapkan pedoman etika penyiaran dan standar program siaran.
 (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh.
(4)   Kewenangan lain di bidang pers dan penyiaran bagi Pemerintah Aceh, selain yang diatur dalam ayat (1) dan ayat (2), dilakukan dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

Kita tentunya sangat paham, DPRA mungkin melihat masih banyak hal yang dianggap lebih prioritas untuk dibahas di tahun ini, mengingat tahun 2016 katanya adalah “tahun politik” tentunya qanun yang bersifat politik memiliki posisi lebih penting untuk dibahas.

Namun Aceh yang telah mensbihkan sebagai daerah Syariat yang memiliki visi untuk menerapkan ajaran Islam secara Kaffah ini, merupakan PR besar bagi kita semua terutama Pemerintah dalam membentengi dan menjaga generasi muda dan anak-anak dari berbagai isi siaran yang tidak mendidik dan mengarah kepada budaya hedonis, pornografi dan porno aksi.

Hal ini sebenarnya sudah masuk ke dalam kategori “meresahkan”, bagaimana tidak pasca “Serangan Tsunami”, anak-anak Aceh seakan mendapatkan “serangan” baru dari dunia entertainment terutama pasca televisi berlangganan/televisi berbayar mulai masuk dan membanjiri rumah-rumah dan warung kopi di Aceh.

Konten-konten yang tidak layak tonton oleh anak di bawah umur pun seakan sudah lumrah ditonton oleh siapa saja. Kalau Tsunami merusak fisik dan materi manusia, maka siaran-siaran negatif  itu akan merusak mental dan jiwa generasi  muda.

Para orang tua seakan pasrah dengan kondisi tersebut dan tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk menjaga anak-anaknya dari tontonan dan konten yang tidak mendidik karena lingkungannya juga hampir seluruhnya seperti itu. Hal ini tentunya harus mendapat perhatian penuh dari Pemerintah jika tidak ingin generasi masa depan terus terkontaminasi oleh konten-konten negatif.

Islam Kaffah

Allah Swt. Berfirman dalam Al-Qur’an Surah Albaqarah ayat 208 “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”

Islam kaffah maknanya menurut para ulama adalah Islam secara menyeluruh, dengan seluruh aspeknya, seluruh sisinya, yang terkait urusan iman, terkait tentang tuntunan, atau terkait dangan dengan akhlak, atau terkait dengan ibadah, atau terkait dangan mu’amalah, atau terkait dangan urusan pribadi, rumah tangga, masyarakat, negara, dan yang lainnya yang sudah diatur dalam Islam. Ini makna Islam yang kaffah.

Lalu pertanyaannya sudah Islamikah produk-produk tayangan dan siaran media yang menjadi “tuntunan” generasi kita ? “Tontonan sudah menjadi Tuntunan” adalah sebuah kalimat sering disampaikan oleh para Guru dan Orang tua akhir-akhir ini. Hal ini bisa kita saksikan dalam kehidupan generasi muda khususnya di Aceh yang memiliki tidak lagi merasa malu untuk mempraktekkan apa yang diliihatnya di televisi.

Budaya ugal-ugalan, menggunakan narkoba, budaya pacaran, seakan telah dianggap sebagai hal lumrah dan gaya hidup baru di nanggroe syariat ini. Beberapa waktu lalu ketika saya pulang kampung saya sempat mampir di Lapas Tapaktuan, kebetulan menjenguk saudara yang kena kasus narkoba. Saya bertanya kepada petugas lapas kasus apa yang paling banyak ditemukan, namun sungguh miris ketika saya mendengar bahwa hampir 70% kasus-kasus di daerah adalah kasus Narkoba  (sabu-sabu) telah menjadi trend baru bagi generasi muda Aceh.

Beberapa perilaku tersebut merupakan sebuah keniscayaan yang lahir dari ”Keteladanan´semu yang setiap hari disuguhi oleh tayangan-tayangan Televisi yang tidak mendidik. Para ahli mengatakan sebagai media audio visual TV mampu merebut 94% lahirnya pesan-pesan dan informasi ke dalam jiwa manusia, yaitu lewat mata dan telinga.

Secara umum TV mampu membuat orang akan ingat dan merekam 85% dari apa yang mereka dengar dan lihat (Dwyer : 1997). “Kesalahan yang terus diulang-ulang maka akan menjadi kebenaran”, kata-kata dari Adolf Hitler tersebut nampaknya sedang dipraktekkan dan menjadi slogan bagi media-media besar untuk menyesatkan generasi muda Islam Aceh hari ini.

Tidak Mengekang Kebebasan Pers

Qanun penyiaran yang telah disusun didalam sebuah draft yang di bahas oleh anggota DPRA Aceh periode lalu itu pun kandas dan kembali masuk di dalam Prolega periode 2014-2019.  Beberapa alasan dan penilaian dari insan media yang menyatakan qanun tersebut menghambat kebebasan Pers, salah satu protes yang diprotes adalah pasal 6 draf atau rancangan qanun itu.

Pasal ini mengatur antara lain tentang larangan bagi lembaga penyiaran menayangkan feature, berita investigasi, dokumenter, sinetron, lagu, musik, iklan, bahkan kuis selain untuk kepentingan Islam.

"Ini sama saja membelenggu masyarakat," ujar Nurdin Hasan sembari menambahkan, draft yang kini sudah diajukan ke DPRD Aceh untuk dibahas dinilai banyak kejanggalan dan kelemahan, salah satunya bertentangan dengan UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

Kekhawatiran kawan-kawan pers bahwa qanun tersebut berpotensi menghambat kebebasan pers dalam pasal 12 ayat 1 tersebut tidak tepat karena tidak bersifat pemberitaan secara langsung serta bukan wilayah media massa, tapi qanun tersebut terfokus pada media elektronik yaitu radio dan televisi yang melakukan siarannya dalam ranah publik Aceh.

Padahal di dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS) juga mengatur tentang asas-asas dan landasan program siaran yang mengahargai keragaman adat, budaya dan agama di nusantara, selain itu juga menjamin hak anak dan hak asasi manusia (HAM), maka oleh karena itu jika dikatakan bahwa qanun penyiaran tersebut bisa mengancam kebebasan pers dan akan menimbulkan kekerasan baru terhadap semua media di Aceh dengan alasan telah melanggar syariat Islam sangat tidak masuk akal.

Oleh karena itu menurut hemat saya, Pemerintah melalui DPRA sudah saatnya membentuk Qanun tersebut sebagai representasi penerapan Syari’at Islam secara Kaffah di Aceh. Spirit ini perlu terus dijaga setelah sebelumnya di bidang penegakan hukum sudah lahirnya Qanun acara dan materi Jinayah, di Bidang Perbankan juga sudah lahir Qanun Perbankan Syari’ah yang nantinya akan menjadi payung hukum bagi Bank Aceh yang Baru, namun apa salahnya jika spirit ini terus kita
kembangkan dengan mendorong lahirnya kembali Qanun Penyiaran Aceh yang
Islami.

Toh, dengan adanya qanun ini lebih dibutuhkan masyarakat kita demi menjaga moral dan etika generasi muda kita yang lebih baik. Beberapa hari yang lalu kawan-kawan dari Pelajar Islam Indonesia (PII) juga menyampaikan kritikan yang sama terhadap video klip dan tampilan-tampilan artis Aceh yang jauh dari harapan syari’ah.

Ketika kita mengkritik orang Aceh di luar sana yang membawa nama Aceh dengan sebutan “Tidak Me-Aceh” akan tetapi tampilan di dalam Nanggroe sendiri kita masih menerapkan gaya-gaya yang kita tolak tersebut. Jangan sampai orang mengatakan “Gajah di depan mata nampak kecil, namun Semut diseberang lautan menjadi nampak Besar”

Sekian..
Wallahu’alam Bishawwab

Penulis: Darlis Aziz, S.Pd.I, S.I.Kom
Penulis adalah Ketua Umum PW KAMMI Aceh dan Pengurus Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Aceh.

Posting Komentar

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget