Mei 2016


canindonesia.com -Banda Aceh

Syariat Islam menjadikan kota Banda Aceh sebagai kota yang paling nyaman bagi pecinta kopi. Demikian disampaikan  Inong,  seorang Aktivis lingkungan di Aceh  saat dijumpai di  warung kopi El Point di kawasan Lampineung, Banda Aceh. Menurutnya, dirinya tidak merasa was-was akan adanya kekerasan ataupun intimidasi serta kerawanan sosial lainnya saat menikmati kopi baik pagi, siang atau malam hari.
“Syariat Islam di Aceh mampu mengatur secara baik sekali perilaku masyarakat, sehingga warga merasa dirinya bagian dari kebersamaan dengan masyarakat lainnya dan bertanggung jawab menjaga, mengingatkan dan saling bersikap baik. Syariat Islam secara tidak langsung membentengi Aceh dari  liarnya budaya luar. Bahkan di warung kopi pun, masyarakat Aceh merasa risih setiap perilaku yang tidak pantas diperlihatkan di depan umum.  seperti  perempuan yang merokok di tempat  umum atau sikap provokatif  dengan pakaian yang tidak sopan” kata Inong.
“Meski begitu masyarakat Aceh sangat menjaga ketertiban. Terbukti  tidak ada satupun kasus kekerasan yang terjadi akibat sikap yang tidak pantas itu” kata Inong menegaskan. Menurutnya, banyak wisatawan yang datang dan merasa Aceh sangat nyaman bagi pendatang. Mereka mampu beradaptasi dengan masyarakat Aceh dalam hal kesopanan. 
           Aceh yang dijuluki kota 1001 warung kopi selalu ramai dikunjungi oleh warga setempat atau tamu yang datang dari luar Aceh. Setiap tahun diadakan festival kopi Aceh yang menjadi daya tarik wisatawan domestik maupun internasional.
Untuk diketahui, Selasa (10/5/2016) malam, Walikota Banda Aceh Illiza Saaduddin Djamal dan perwakilan Kementerian Pariwisata resmi membuka festival kopi internasional yang digelar di Lapangan Blang Padang. Agenda tahunan ini akan berlangsung hingga 12 Mei mendatang.

canindonesia.com -Banda Aceh
Aceh yang dikenal dengan wisata kuliner khususnya kopi sudah sejak lama dilirik oleh wisatawan baik domestic maupun mancanegara, khususnya dari negeri jiran Malaysia dan Brunei Darussalam, juga wisatawan dari Eropa. Begitupun, salah satu alasan kunjungan wisatawan domestic ke Aceh adalah karena provokasi kopinya yang menggoda.
         Ngopi, adalah tradisi masyarakat Aceh yang dilakukan setiap pagi sebelum bekerja atau malam setelah pulang dari kerja.  Ngopi menjadi trend baru anak muda Aceh pasca tsunami pada Desember 2004 lalu. Sejak itu Aceh dibanjiri warung kopi dengan pengunjung yang berlimpah. Warung kopi di Aceh umumnya menyediakan kopi jenis robusta.
          Namun demikian, saat ini, seiring semakin terbukanya Aceh sebagai kota yang ramah terhadap pendatang,  masyarakat Aceh mulai meminati kopi jenis arabika. Warung kopi ini biasanya menyediakan kopi jenis Arabika dengan cara penyajian yang juga khas bagi para pecinta kopi. Meski begitu kita bisa menikmati kopi robusta maupun arabika pada warung yang sama.
Hampir di semua warung kopi di propinsi Aceh menyediakan wifi gratis untuk pengunjungnya. Kalangan mahasiswa, profesional, jurnalis, dan masyarakat umum menggunakan fasilitas ini untuk update informasi di sosial media atau melakukan aktivitas pekerjaan hariannya. Pada saat tertentu kita bisa bertemu tokoh Nasional bahkan artis mancanegara di warung kopi. Meskipun begitu, beberapa diantara warung kopi di Aceh sengaja tidak menyediakan wifi karena menginginkan suasana ngopi yang hangat dan pengunjungnya bisa saling bertegur sapa.             
           Bagi anda yang ingin mengunjungi kota Banda Aceh melalui pelabuhan udara Sultan Iskandar Muda, hanya dalam waktu 10 menit anda akan menjumpai tempat ngopi nyaman dan wajib anda coba.
         Berikut kami informasikan nama-nama warung kopi yang dapat anda kunjungi di seputaran kota Banda Aceh, khususnya di sepanjang jalan Teuku Nyak Makam dari jembatan Pango hingga depan kantor Gubernur Aceh dan sekitarnya. 
Warung kopi  El Point, Tri in One, Romen, Skala, Solong, Solong Premium, Seuramoe, Gerobak Arabika, Ie Kuphie, Pacifik, Ram Rover, Lampineung Kuphi, Cut Nun, Cek Yukee, Cek Wan, Rebee, Ali Kebab, HIP coffee, Maroon, Sareng Kopi, warung kopi Smea, Serambi Kopi, Zakir Kopi, Nacha, Helsinky, dan lain-lain.
Beberapa warung kopi ini dekat dengan Masjid atau Mushala, bahkan sebagian warung ini memiliki tempat shalat yang bagus sekali.


         

Perang Aceh

canindonesia.com - PAUL van 't Veer (1922-1979) adalah seorang wartawan yang berminat besar pada sejarah dan sastra. Dia termasuk segelintir wartawan Belanda yang dianggap paling mengenal dan ahli tentang Indonesia. Hal itu terlihat dari sejumlah buku dan karangan lain hasil karyanya. Buku "Perang Aceh, Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje" merupakan salah satu bukti tentang kecintaannya terhadap sejarah, ketekunannya dalam meneliti, dan kecemerlangan intelektualnya.

Semuanya itu terintegrasi secara mulus dalam gaya bahasa jurnalistiknya yang lancar sehingga menjadikan buku tersebut sebuah karya tulis yang bukan saja enak dibaca, tetapi juga perseptif dan analitis. Tanpa mengurangi makna sumbangan yang berharga dari buku ini setelah membacanya dengan teliti dan kritis sebagian pembaca barangkali akan memperoleh kesan bahwa buku ini rupanya terutama diperuntukkan bagi orang Belanda.

Hal itu antara lain jelas terlihat dari pendekatannya yang menempatkan Perang Aceh dalam perspektif perpolitikan dan kemiliteran Belanda, baik di dalam negeri maupun di Hindia Belanda serta dalam perkaitan internasionalnya dengan beberapa negara Eropa. Sejalan dengan itu dapatlah dimengerti kalau lukisan dan analisa tentang peranan pihak Belanda jauh lebih teliti, kritis, detail, luas, dan mendalam daripada gambaran perlawanan pihak Aceh.

Buku ini melukiskan dengan cermat dan hidup percaturan politik dan militer Belanda menjelang dan selama Perang Aceh, tetapi uraiannya tentang perpolitikan dan kemiliteran Aceh di zaman itu kurang memadai sehingga menimbulkan kesenjangan. Dari situ sekaligus tercermin kekuatan dan kelemahan karya ini. Kesenjangan yang kita kemukakan berpautan erat dengan dua pertanyaan pokok yang ingin dijawab oleh pengarang buku.

Pertanyaan pertama (dalam buku ini tercantum sebagai pertanyaan kedua) bersifat moral atau etis dan politik, yaitu: "Apakah perang ini dapat dibenarkan?" Oleh karena yang menjadi agresor atau pencetus perang ini adalah pihak Belanda, maka pertanyaan tersebut tertuju kepada mereka. Pertanyaan kedua (pertama dalam buku ini) bersifat militer, yaitu: "Apakah perang ini dilakukan dengan cara yang tepat?" Oleh karena yang melakukan perang atau yang memerangi adalah Belanda, maka pertanyaan itu juga tertuju kepada pihaknya.

Dengan perkataan lain, dua pertanyaan pokok ini mempersoalkan pihak Belanda dalam mencetuskan, melakukan, dan menyelesaikan Perang Aceh dari segi moral, politik, dan militer. Ditinjau dari pihak Belanda, menurut penulis buku ini, Perang Aceh adalah perang yang terbesar dan terberat yang pernah dilakukan bangsa itu. Dilihat dari segi waktu perang ini, yang menurut dia berlangsung dari tahun 1873 sampai 1942 lamanya dapat dibandingkan dengan Perang 80 Tahun yang pernah dialami Belanda di Eropa dahulu.

Dari segi jumlah korban yang tewas (lebih dari 100.000 jiwa, sebagian besar rakyat Aceh) perang ini merupakan peristiwa militer yang belum ada bandingnya bagi Belanda. Oleh karena itu, dapatlah dipahami mengapa perang ini berpengaruh besar dalam kehidupan politik dan militer Belanda selama berpuluh tahun. Uraian yang kritis serta analisa yang tajam tentang itu merupakan sumbangan yang berharga dari buku ini.

Dalam Traktat London tahun 1824 yang ditandatangani Inggris dan Belanda, di samping menyetujui pertukaran Bengkulu (dari Inggris kepada Belanda) dengan Malaka (dari Belanda kepada Inggris), terdapat ketentuan bahwa Belanda berjanji tidak akan mengusik kemerdekaan Aceh dalam usaha perluasan kekuasaannya di Sumatera. Aceh yang merdeka kemudian dirasakan sebagai gangguan oleh Belanda baik dari segi kelancaran perdagangannya maupun dari segi keamanan kekuasaan kolonialnya di Nusantara.

Hal itu mendorongnya untuk menaklukkan Aceh sebagai daerah kekuasaannya. Dengan cerdik Belanda berhasil mengajak Inggris menyetujui Traktat Sumatera pada tahun 1871 yang antara lain menghapus ketentuan yang menjamin kemerdekaan Aceh dalam Traktat London tahun 1824. Sebagai imbalan Inggris memperoleh koloni-koloni Belanda di pantai Guinea dengan membayar nilai-nilai barang yang ada di sana. Traktat Sumatera membuka pintu bagi Belanda untuk mencaplok Aceh.

Multatuli, seorang tokoh moralis Belanda yang terkenal dengan buku karangannya Max Havelaar, melihat bahwa motif utama Belanda dengan Traktat Sumatera itu adalah untuk meluaskan kekuasaannya ke Aceh. Hal itu antara lain diamatinya dari kelakuan Gubernur Jenderal James Loudon yang berkedudukan di Buitenzorg.

Dalam bulan Oktober 1872 Multatuli menerbitkan surat terbukanya yang berjudul Surat kepada Raja, yang mengandung ramalan, sebagaimana dikutip oleh penulis buku ini, yang berbunyi: "Gubernur Jenderal Anda, Tuanku, dengan bermacam dalih yang dicari-cari, paling-paling berdasarkan alasan provokasi yang dibuat-buat, bersikap memaklumkan perang kepada Sultan Aceh dengan tujuan merampas kedaulatan kesultanan itu. Tuanku, perbuatan ini tidak berbudi, tidak luhur, tidak jujur, tidak bijaksana" (halaman 24).

Pada tanggal 26 Maret 1873 melalui seorang komisaris yang dikirim ke Aceh surat pernyataan perang yang ditandatangani Gubernur Jenderal James Loudon diserahkan kepada Sultan Aceh. Maka, meletuslah perang Belanda di Aceh. Ramalan Multatuli bukan saja ternyata benar, tetapi juga kritik tajamnya yang mempertanyakan kebenaran moral atau etis dan politik dari perang itu rupanya terus hidup mewarnai perpolitikkan Belanda selama peristiwa berdarah itu berlangsung berpuluh tahun. Sebagian besar buku ini bercerita tentang perang itu sendiri.

Ada dua macam perang yang dilukiskan dan dianalisanya. Di Aceh, pembaca diajaknya mengikuti perang yang "benar-benar" melalui jalannya satu pertempuran ke pertempuran lain. Di luar medan laga itu, terutama di Negeri Belanda, kita disuguhinya gambaran yang mengasyikkan tentang "perang kertas" atau polemik yang tajam mengenai kebijaksanaan militer yang perlu diambil dalam melakukan dan menyelesaikan perang yang sesungguhnya. "Hampir tidak ada orang Belanda yang memainkan peranan utama dalam Perang Aceh yang tidak merasa terpaksa mempertahankan kebijaksanaannya di depan umum" (halaman 97).

Hal itu telah berperan besar dalam memperbanyak karya tulis tentang perang ini. Menurut Van 't Veer sampai 1945 tidak ada peristiwa dari sejarah kolonial Belanda yang menggugah begitu banyak tulisan seperti Perang Aceh. Ada sekitar 150 buku atau brosur yang seluruhnya membahas perang tersebut, dan itu belum termasuk karya-karya tulis seperti buku-buku pedoman dan artikel-artikel majalah yang tak terhitung banyaknya.

Apa yang disebut "perang kertas" itu adalah polemik tajam antara penganut garis lemah dan pentolan Garis keras dalam kebijaksanaan militer dalam perang. Di kubu garis lemah terdapat Jenderal Van Swieten sebagai salah seorang tokoh utamanya, sedangkan di kubu garis keras terdapat Jenderal Verspijck, Snouck Hurgronje, dan Jenderal Van Heusz. Penganut garis lemah tidak dapat membenarkan cara-cara kekejaman yang luar biasa dan bumi hangus dalam perang, sedangkan pihak garis keras berkeyakinan bahwa Aceh tidak bisa ditaklukkan dengan bujukan.

Garis keras mendapat angin ketika Teuku Umar, yang pernah bekerja sama dengan Belanda kembali melakukan perlawanan. Jenderal Van Heutsz dan Snouck Hurgronje memanfaatkan pembelotan Teuku Umar itu untuk melaksanakan garis keras mereka. Maka, perang Belanda di Aceh menjadi semakin berdarah. Kekejaman Belanda dengan pasukan marsose-nya semakin menjadi-jadi. Bukan saja lawan bersenjata yang dibunuh, melainkan terkadang juga kaum wanita dan anak-anak yang tak berdaya.

Antara tahun 1899 dan 1909, yang terkenal sebagai "sepuluh tahun berdarah", tercatat 21.865 orang Aceh yang tewas atau sekitar empat persen dari penduduk, sedangkan di pihak Belanda hanya 508 orang. Satu per satu kubu perlawanan orang Aceh dihancurkan. Rumah-rumah dibumihanguskan. Daerah-daerah tertentu menjadi sunyi sepi ditinggalkan bertahun-tahun oleh mereka yang berhasil lolos. Bahkan ribuan yang menyingkir jauh sampai ke Pulau Penang. Di samping ada yang menyerah, banyak pula yang melawan sampai titik darah terakhir.

Salah satu kisah keberanian perlawanan Aceh yang luar biasa diperlihatkan oleh keluarga Teungku Cik Di Tiro, Syekh Saman. Ulama besar ini tewas pada tahun 1891, tetapi perjuangan diteruskan oleh anak-anak dan cucu-cucunya. Dalam tahun 1896 tewas pula anak tertua dari lima putranya. Empat lainnya dan dua cucunya gugur dalam perlawanan antara tahun 1904 dan 1909. Dalam menghadapi kubu perlawanan keluarga ulama besar ini Belanda betul-betul menemukan salah satu contoh terbaik dari keberanian orang Aceh yang luar biasa. "Tidak satu pun dari pemimpin-pemimpin pemberontakan itu yang menyerah hidup-hidup" (halaman 220).

Sebenarnya dengan patahnya kubu perlawanan besar terakhir yang dipimpin oleh ulama-ulama di Tiro tersebut pada permulaan dekade kedua abad ini Belanda telah berhasil memenangkan perangnya di Aceh. Tetapi apakah rakyat Aceh merasa telah ditaklukkan? Rupanya, tidak. Paling kurang masih banyak yang tidak merasa begltu. Mereka memang kalah perang, tetapi tidak merasa takluk. Hal itu antara lain terbukti dari masih bermunculannya perlawanan berdarah, meskipun dalam skala kecil-kecil, sesudah kubu perlawanan besar terakhir dilumpuhkan Belanda.

Bahkan dalam bulan Februari dan Maret 1942, menjelang mendaratnya Jepang, terjadi lagi gerakan pemberontakan dengan metode gerilya lama. Belanda segera mengirimkan pasukan marsose yang selama perang mereka di Aceh telah membuktikan keampuhannya sebagai pasukan "kontragerilya" yang efektif. Itulah sebabnya mengapa penulis buku yang diresensi ini sampai menyimpulkan bahwa "Perang Acek"' berlangsung selama 69 tahun dan baru berakhir pada tahun 1942. Tentang kapan berakhirnya perang tersebut memang ada beberapa pendapat yang berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Van 't Veer.

Salah satu pendapat yang cukup kuat ialah yang mengemukakan bahwa perang itu sebenarnya sudah berakhir setelah Belanda berhasil melumpuhkan kubu perlawanan besar orang Aceh terakhir yang dipimpin oleh ulama-ulama di Tiro pada permulaan dekade kedua abad ini, tahun 1910-1913. Dengan itu Belanda praktis telah memenangkan perangnya dan menjadikan Aceh salah satu bagian dari daerah jajahannya di Nusantara ini. Bahwa masih terjadi perlawanan kecil-kecilan sesudah itu, sebagian ahli sejarah Aceh barangkali menganggapnya sebagai masalah keamanan di dalam salah satu wilayah kekuasaan kolonial, bukan bersifat kelanjutan perang.

Pendapat seperti ini tentu didasarkan pada definisi "perang" yang rupanya berbeda dengan definisi yang dianut oleh penulis buku ini. Meskipun buku ini mengandung beberapa kelemahan yang sebagian telah dikemukakan, pada dasarnya ia merupakan karya yang berharga dalam menambah pengetahuan kita. Uraiannya kritis, analisanya tajam, gaya bahasanya enak sehingga asyik membacanya. Betapapun juga buku ini melihat permasalahan yang dikajinya dari perspektif perpolitikan dan kemiliteran Belanda.

*sumber: http://www.asalasah.com/2012/02/perang-terbesar-bangsa-belanda-adalah.html

Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar menyebut tokoh nasional bernama Kivlan Zen berjasa atas pembebasan sandera MILF
Mayor Jenderal (Purn) Kivlan Zen

canindonesia.com Jakarta - Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar mengatakan bahwa sepuluh buah kapal (ABK) yang telah ditahan beberapa minggu lalu telah berhasil dibebaskan atas negosiasi antara polisi dengan Abu Sayyaf untuk membebaskan sandera. Tokoh nasional bernama Kivlan Zen disebut berjasa atas pembebasan ini.

Boy Rafli mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang berjasa membebaskan mereka. Boy juga menyatakan terima kasih kepada pihak berwenang Filipina, sehingga pemerintah Indonesia bisa membuka jalur komunikasi dengan penyandera serta tidak memiliki kesulitan yang berarti.

"Jadi kita utamakan upaya untuk bernegosiasi. Kami dibantu oleh pihak berwenang di Filipina sehingga komunikasi dengan kelompok-kelompok ini berjalan efektif. Akhirnya, mereka menyerahkan kembali sandera," ujar Boy di Markas Besar Polisi, Jakarta, seperti dilansir CNN Indonesia pada Senin (2/5).

Selain itu, Boy juga menyebutkan adanya partisipasi masyarakat yang intens atas kejadian ini. Ia melanjutkan, salah seorang tokoh nasional yang juga merupakan tim sukses Prabowo bernama Mayor Jenderal (Purn) Kivlan Zen, telah berupaya maksimal untuk bernegosiasi dan menurutnya hal ini tidak akan berhasil jika polisi melakukannya sendiri.

Seperti diketahui, Kivlan adalah seorang tokoh militer Indonesia yang pernah menjadi Ketua Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) dan pernah memegang jabatan kepala angkatan bersenjata. Ia juga pernah menjadi Kontingen Komanda Garuda untuk memperjuangkan perdamaian di Filipina selatan pada 1995 sampai 1996.

"Yang saya tahu, Pak Kivlan Zen adalah purnawirawan TNI ketika MILF (Front Pembebasan Islam Moro) beberapa belas tahun yang lalu, ia termasuk tim yang dikirim oleh pemerintah untuk berpartisipasi dalam proses perdamaian disana. Jadi jasa tersebut yang menjadi bekal yang digunakan untuk memudahkan modal bekerjasama," katanya.

Bus Transkutaradja Banda Aceh

canindonesia.com Banda Aceh - Bus Transkutraja atau sering disebut Busway mulai beroperasi di Banda Aceh. Pemotongan pita dilaksanakan oleh Gubernur Aceh dr Zaini Abdullah dengan bus yang berderet dari jalan Tgk Daud Beureueh hingga di depan Hotel Reggina. Kapasitas bus tersebut adalah 75 penumpang. Turut hadir pula Walikota Banda Aceh, Hj Illiza Sa'aduddin Djamal SE. Zaini dan Illiza kemudian menaiki bus Trans Kutaraja dan turun di halte Kantor Gubernur.

Dalam sambutannya, Doto Zaini mengatakan bahwa kehadiran transportasi massal adalah upaya Pemerintah untuk mengatasi masalah kemacetan lalu lintas di kota Madani.

"Bus telah tiba 25 unit dari 80 unit yang kita minta, mudah-mudahan di lain hari akan menjadi kenyataan sekali lagi oleh pemerintah pusat," kata Zaini seperti dilansir Serambinews pada Senin (2/5).

Untuk para siswa, Zaini Abdullah mendesak agar mereka beralih ke Trans Kutaraja untuk berangkat ke sekolah dan perguruan tinggi.

"Jangan lagi menggunakan sepeda motor ke sekolah dan kampus, mari kita beralih ke Trans Kutaraja karena sangat mudah dan aman. Selain itu, siswa yang tidak memiliki SIM, agar tidak menggunakan sepeda motor ke sekolah," desak Zaini.

Zaini mengatakan, bus dengan panjang 12 meter tersebut dirancang khusus untuk melayani warga di Banda Aceh yang menerapkan hukum syariah dengan memisahkan bangku pria dan perempuan.

Bus ini juga menyediakan bangku khusus untuk orang cacat. Bus berbadan lebar ini memiliki kapasitas 75 penumpang, dengan tempat duduk dua sisi dan pelanggan juga bisa berdiri dengan fasilitas pegangan tangan yang tersedia.

Untuk koridor 1-Darussalam Keudah telah dilengkapi dengan 16 halte yang telah dibangun di sepanjang jalan. Halte bus ini hanya disediakan untuk penumpang dan tidak akan berhenti di tempat lain.

Zaini mengatakan, akan ada koridor 6 yang akan dilayani bus ini.

"Saat ini kami sedang mempersiapkan pembangunan Koridor 2 layanan Ulee Lheue-SIM. Kami merencanakan 26 halte di koridor ini InshaAllah akan siap tahun 2016," kata Zaini.

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget