canindonesia.com - (opini) Himne merupakan sejenis nyanyian pujaan, yang biasanya pujaan tersebut ditujukan kepada tuhan atau sesuatu yang dimuliakan. Adapun himne juga memiliki artian sebagai bentuk lagu untuk mendoakan, memberi kesan agung ataupun sebagai rasa syukur yang disampaikan dalam bentuk lagu. Dengan demikian himne ini merupakan suatu hal penting dalam memberikan bukti serta makna berarti dalam bentuk perwujudan sebuah negara maupun daerah. Itulah mengapa penggunaan bahasa akan pembuatan himne perlu disesuaikan dengan latar belakang negara maupun daerah, sehingga himne tersebut dapat diterima oleh kalangan masyarakat karena sesuai dengan keberagaman akan negara maupun daerah tersebut.

Aceh, salah satu provinsi di Indonesia yang menjadi bukti dari berbagai macam latar belakang atas fakta sejarah yang pernah terjadi. Namun Aceh sendiri merupakan salah satu provinsi yang tidak luput dari sejarah kelam, dibuktikan dengan lahirnya konflik antara TNI dan GAM yang pada saat itu menetapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Dengan berbagai macam kemelut yang menyelimuti Aceh pada saat itu, lahirlah peristiwa MOU Helsinki (Memorendum of Understanding) pada tanggal 15 Agustus 2005, yang merupakan perjanjian akan perdamaian antara Indonesia dan Aceh. Peristiwa itulah yang menjadi akhir atas konflik yang terjadi beberapa waktu lalu antara TNI dan tentara Aceh.

Namun jika kita mencoba memahami dampak nyata akan peristiwa MOU Helsinki tersebut, dari situlah lahir beberapa keputusan-keputusan penting yang pada akhirnya dituangkan pada UUPA (undang-undang pemerintah Aceh), salah satunya adalah peraturan yang tertuang dalam UU NO.11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh yang menyebutkan 3 hal penting, yaitu Bendera, Lambang dan Himne. Dimana  ketiga hal tersebut dimasukkan dalam undang-undang agar memperjelas dan memperlihatkan adanya kebenaran bahwa daerah aceh adalah daerah istimewa, dan jelas mencakup kekhususan dalam mengatur berbagai hal didalamya.

Perdebatan tentang Himne, satu dari tiga elemen penting yang tertuang dalm UUPA

Disaat kita mencoba menelisik lebih dalam mengenai fakta yang terjadi di lapangan akan perintah yang tertuang dalam UUPA, masih terdapat banyak perdebatan dari berbagai macam pihak atas perintah yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah (PerDa) tersebut, khususnya kebijakan-kebijakan yang tertuang di dalam Qanun yang secara nyata masih terdapat Pro Kontra dalam penerapannya. Salah satunya adalah disaat salah satu point yang tertuang dalam peraturan UU NO.11 tahun 2006 diperdebatkan, yaitu persoalan akan bahasa yang digunakan dalam wacana pelaksanaan sayembara Himne Aceh.

Pada 31 Oktober 2017, aliansi mahasiswa asal gayo yaitu Gayo Merdekamelakukan demonstrasi didepan Gedung DPRA yang menuntut ketidakadilan akan penggunaan bahasa Aceh sebagai salah satu syarat sayembara Himne Aceh. Dalam aksinya, mereka meminta agar panitia penyelenggara untuk dapat mengevaluasi hal itu. Disaat itu pula mereka menyampaikan aspirasi bahwa harus adanya keberagaman dan penyesuaian dalam penggunaan bahasa dalam Himne Aceh.

Aceh merupakan provinsi yang memiliki berbagai macam suku didalamnya, seperti suku Alas, Jamee, Haloban, Tamiang, Gayo dan lain sebagainya. Oleh karena itu, para mahasiswa yang tergabung dalam aliansi tersebut menyatakan bahwa mereka tidak ingin  terdiskriminasi terhadap bahasa yang digunakan. Sehingga mereka ingin agar aspirasi yang mereka suarakan dapat dikabulkan oleh pemerintah, sehingga akan timbul suatu korelasi dan rasa kesatuan dari seluruh masyarakat dengan tidak membeda-bedakan satu suku dengan suku yang lain, dan yang pasti lahir wujud keberagaman antar masyarakat Aceh khususnya.

Namun sebelum kita menelisik lebih jauh fakta apalagi yang akan timbul dari aksi aliansi mahasiswa tersebut, ada baiknya bagi kita untuk memahami konsep apa yang menjadi dasar pemerintah menetapkan syarat tersebut. Ada beberapa perdebatan yang timbul mengenai kebijakan atas syarat yang dikeluarkan pada sayembara Himne Aceh, apakah mungkin pemerintah menetapkan syarat namun mayoritas dari masyarakat kontra akan diberlakukannya syarat itu?.

Dalam sebuah Program penyiaran Radio, yang mengangkat judul Mungkinkah Himne Aceh Bukan Berbahasa Aceh?. Ada diskusi menarik ketika dalam salah satu sesi diberlakukan tanya jawab dengan Bardan Sahidi, yang merupakan Ketua Panitia dari sayembara Himne Aceh, yang sekaligus merupakan anggota DPRA. Hal menarik dari percakapan via telepon tersebut adalah disaat beliau mengatakan bahwa sayembara Himne Aceh itu baru sebatas pengumpulan ide, dan dia melanjutkan bahwa dalam hal ini himne dihimpun dari berbagai kalangan. Ia pun menambahkan bahwa persyaratan menyebutkan bahasa itu baru satu sebab saja, yang memungkinkan membuka ruang untuk masyarakat berpasrtisipasi, dimana sebenarnya beliau pun sepakat agar Himne tersebut mengakar ke seluruh penjuru Aceh.

Opsi menanggapi konflik atas perdebatan yang terjadi

Disaat kita ingin menyelesaikan polemik atas suatu konflik, maka kita harus melihat darimana akar persoalan ini berasal. Sehingga hal tersebutlah yang menjadi salah satu opsi yang setidaknya dapat meminimalisir perdebatan yang terjadi diberbagai macam pihak. Ada beberapa pendapat yang dapat dijadikan kesimpulan bahwa persoalan atas sayembara Himne ini bukanlah persoalan yang sulit, selagi kita paham dasar persoalan dan instansi mana saja yang memiliki keterkaitan akan hal itu.

Aliansi mahasiswa berdemonstrasi dengan tujuan agar aspirasi yang mereka suarakan dapat diterima oleh pemerintah, karena secara umum itu adalah suatu bentuk kepedulian terhadap suku dan bahasa mereka. Begitu pula dengan apa yang disampaikan ketua panitia sayembara Himne Aceh ini sendiri, beliau melaksanakan sayembara ini dengan membuka ruang seluas-luasnya agar masyarakat dapat berpartisipasi.

Pada dasarnya, ada 3 opsi penerapan kebijakan yang dapat dimasukkan kedalam perdebatan akan pemakaian bahasa ini. Pertama adalah disaat kita ingin menghargai keberagaman bahasa di aceh, yaitu dengan memasukkan beberapa bahasa yang ada di aceh kedalam beberapa bait lagu Himne Aceh tersebut atau memaksimalkan alat musik khas dari beberapa suku di aceh sebagai backsound dari Himne Aceh itu sendiri . Kedua, dengan memperhatikan bahwa mayoritas masyarakat di Aceh menggunakan bahasa Aceh dalam keseharian, maka tidak ada salahnya kita menggunakan bahasa Aceh tersebut kedalam Himne Aceh, namun dengan pengertian yang diberikan pemerintah sebagai pengambil keputusan mutlak kepada masyarakat minoritas. Ketiga, walaupun ini adalah persoalan tentang Himne Aceh, bukanlah hal yang salah jika kita mencoba tetap menggunakan bahasa indonesia ke dalam lirik lagunya, mengingat Aceh sendiri juga merupakan bagian dari NKRI. Dengan catatan setiap lirik lagu tetap bernuansa Aceh yang nyata.

Tapi apapun persoalan, polemik maupun perdebatan dalam sayembara Himne Aceh, ada satu kesepakatan yang memiliki tujuan sama antara masyarakat dan pemerintah sebagai panitia, yaitu menginginkan adanya suatu korelasi akan keberagaman, dengan tujuan agar Himne Aceh membumi dan mengakar ke seluruh penjuru Aceh tanpa ada diskriminasi terhadap siapapun dan apapun itu. 


Penulis: Musrafiyan
Mahasiswa Jurusan Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah Dan Hukum,  
Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh