"Cara Islam Memandang Harta"

"Cara Islam Memandang Harta"

Ilustrasi

canindonesia.com - "Dan sesungguhnya Dia memberikan kekayaan dan kecukupan." (QS. An Najm: 48). Islam memandang harta sebagai salah satu atribut tersier (luxus/kemewahan) dalam kehidupan. Bukan merupakan kebutuhan primer (utama) dan bukan pula kebutuhan sekunder (pendukung).

Artinya secara ideal, seseorang yang sudah terpenuhi kebutuhan utama dan pendukungnya, merasa perlu menambah kekayaannya untuk tujuan yang seharusnya transendental (metafisik, ruhani dan ketuhanan), bukan ekonomikal apalagi lifestyle (gaya hidup).

Konsep keesaan Tuhan (monotheisme) dalam Islam juga kemudian meyakini Allah adalah sebagai pemilik segalanya. Allah yang kemudian memberikan segala kekayaan dan kecukupan bagi semua penduduk langit dan bumi. Jadi harta adalah milik Allah, termasuk manusia dengan segala harta dan kekayaannya.

Sebagai ornamen kehidupan, harta menduduki posisi yang krusial meski tidak fundamental. Dalam arti lain, harta adalah sesuatu yang memang diinginkan manusia. Ia adalah bagian dari fitrah manusia. Harta dipandang oleh manusia sebagai kecintaan kepada benda (materi) yang mempunyai bentuk fisik sebagai wujud kesenangan hidup di dunia. Sebagai manifestasi standar kehidupan yang layak dan mapan.

Sebagaimana firman Allah Swt dibawah ini.

"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu : wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan disisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”  (QS. Ali Imran: 14)

Dalam ayat diatas dijelaskan secara gamblang mengenai bentuk materi harta apa saja yang umumnya diinginkan, dicintai dan ingin dimiliki oleh manusia. Diantaranya adalah wanita atau pasangan (termasuk suami), anak-anak, emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah-ladang. Dan manusia secara naluri menginginkan itu dengan banyak. Manusia tidak ingin sedikit, manusia ingin menambah kekayaan dan hartanya sebagi aktualisasi dari apa yang dinamakan keberhasilan hidup.

Kodrat manusia yang memang menginginkan harta yang banyak kemudian dinetralisir oleh kalimat penutup yang menegaskan bahwa harta yang ada ditangan orang-orang salihlah harta yang paling berkah. Maksudnya, sebaik-baik harta adalah harta yang dikelola oleh tangan-tangan manusia yang tidak menuhankan harta, tapi sebaliknya, mereka yang sadar sepenuhnya bahwa harta adalah titipan dan amanah semata. Dan kemudian akan dikembalikan kepada Sang Pemilik sesungguhnya dalam bentuk ganjaran terbaik di surga.

Artinya jika diibaratkan bahwa harta itu sebagai barang bawaan yang berpotensi menganggu perjalanan seorang muslim dari dunia ke akhirat, maka harta cukup dimanfaatkan seperlunya atau bahkan diinvestasikan di dunia yang akan dikembalikan oleh Allah di akhirat dengan keuntungan berlipat-lipat dan berbalas dengan hal terbaik yang bisa diharapakan oleh orang beriman, yakni surga sebagaimana yang sudah dijanjikan oleh Sang Maha Kaya dan Rasul-Nya.

"Katakanlah, Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik? Katakanlah, Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui". (QS. Al-A’raf: 32)

"Sebaik-sebaik harta ialah yang berada pada orang salih." (HR. Bukhari -Muslim).

Bagi seorang muslim, harta tidak seharusnya menjadi Tuhan baru. Bahkan sebaliknya menjadi alat mendekatkan diri kepada Sang Maha Kuasa dengan memperbanyak ibadah sosial atau bahkan membantu diri untuk beribadah dalam arti ritual. Harta bukanlah segala-galanya, meski tanpa harta tidak segala ibadah bisa ditunaikan. Sebut saja ibadah haji misalkan. Atau yang paling sederhana zakat, infak dan sadaqah.

Justru jika ingin dimaknai lebih dalam, harta juga salah satu bentuk ujian. Ujian yang bilamana kita berhasil melewatinya, akan dinaikan level, kualitas dan diberikan ganjaran kebaikan dan hadiah yang setimpal atas jerih payahnya.

Harta tidak boleh menjadikan hati menjadi lupa akan kodrat seorang hamba. Karena harta bagi seorang muslim tidak diletakkan didalam hati, tapi didalam genggaman. Harta yang ditempatkan di hati akan membuat lalai dan lupa. Sebaliknya harta yang diposisikan dalam genggaman, bermakna bahwa harta bukanlah segalanya, maka harta justru menjadi latihan dan ladang amal kebaikan dan menjadi sesuatu variabel yang bisa dikontrol, bukan malah menjadi pengontrol manusia.

Masih ingat kisah Tsa’labah? Bagaimana kekayaan dan gembalanya yang bertambah malah menjadikannya lupa shalat berjamaah di masjid.

Selain itu, menurut Sri Kusnaeni (2014) dalam pandangan Islam, ada istilah kasab, yakni harta yang didapat seseorang yang sejalan dengan kerja dengan ikhtiarnya. Misalnya seorang pegawai setiap bulan akan mendapatkan gaji, ini menjadi kasab.

Ada pula istilah rezki, adalah harta yang diperoleh seseorang tidak terkait dengan pekerjaannya, dan tidak terduga-duga datangnya.

Dua konsep inilah yang bisa merangkum cara pandang Islam terhadap harta. Di satu sisi manusia perlu berupaya maksimal agar bisa mendapatkan harta yang halal. Tidak boleh berpangku tangan, karena itu akan berbanding lurus terhadap banyaknya harta yang diinginkan manusia untuk dimiliki. Di sisi lain, ada campur tangan Tuhan dalam konsep keseharian manusia muslim. Bahwa Allah adalah zat yang memberikan rezki yang datang dari arah yang tidak disangka, murni karena kasih sayang dan rahmat Allah SWT.

Mendapatkan atau mencari harta bagi seorang muslim adalah salah satu wujud kewajiban yang niscaya. Mencari harta secukupnya adalah bagian dari ikhtiar manusia menjalankan kewajiban sebagai hamba dimuka bumi. Meski harta, sebagaimana sudah disinggung diatas tadi adalah hal yang tidak fundamental, namun krusial dalam hal menjaga harkat dan martabat seorang muslim agar tidak menjadi parasit kehidupan.

Muslim yang baik tangannya selalu diatas dan tidak dibawah. Selalu berusaha memberi dan tidak meminta-minta. Semangat untuk berlomba-lomba agar menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain dengan memberikan segenap kelebihan yang ada padanya, termasuk harta. Di sisi lain, harta juga bisa menjadi sarana untuk bersungguh-sungguh mendekatkan diri kepada Allah, beribadah kepada Allah dan berjihad di jalan-Nya.

Islam mendorong ummatnya untuk memiliki harta karena ia bernilai tinggi, dan terkadang nilainya nyaris menyamai kualitas berjihad dengan jiwa di jalan Allah. Secara umum jihad dengan harta ada di posisi kedua. Sebegitu pentingnya, posisi harta dalam menjaga marwah dan kewibawaan tegaknya Islam, sampai-sampai Allah mengabadikannya dalam Surat At-Taubah ayat 41.

Sementara itu dalam hal pengelolaan, Islam mengarahkan agar umatnya memanfaatkannya secara halal, bijaksana dan profesional. Secara halal maksudnya adalah harta yang dicari dari sumber yang halal, juga harus dimanfaatkan untuk kegiatan yang halal. Jika misalnya harta yang halal tapi dipergunakan untuk investasi haram, maka itu tidak sesuai dengan pedoman yang digariskan dalam agama, dan bisa membawa kerugian bagi banyak pihak. Sebaliknya jika sumber harta yang haram dimanfaatkan untuk kegiatan yang halal juga tidak akan berkah.

Jikapun sumber harta yang halal dan akan dimanfaatkan untuk kegiatan yang halal, itu juga harus mempertimbangkan skala prioritas dan maslahat. Ini maksudnya adalah memberi jangkauan manfaat tidak hanya bagi individu atau kelompok kecil, tapi juga dalam skala yang lebih besar, bagi kebutuhan masyarakat yang lebih banyak.

Yang tidak boleh dilupakan adalah harta dikelola secara amanah dan profesional. Amanah dalam konteks tidak memakan harta yang bukan menjadi haknya (korupsi). Harta yang bathil hasil korupsi akan membawa malapetaka yang luar biasa masifnya.

"Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui". (QS. Al-Baqarah: 188)

Sedangkan mengelola harta yang profesional adalah sebuah keharusan. Yang dimaksud dengan profesional adalah semua yang dikerjakan tuntas, sempurna dan selesai. Jika kita diamanahkan mengelola amanah atau titipan, maka semua itu harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemaslahatan manusia dan juga agama.

Harta yang dikelola harus memberi dampak ekonomi jangka panjang, perbaikan taraf hidup masyarakat yang berkebelanjutan dan tidak berorientasi kepada balas jasa dan keuntungan sesat dan sesaat. Harta yang dikelola secara profesional harapannya bisa menjadi solusi yang mumpuni untuk berbagai persoalan kemakmuran kolektif, dan tidak malah menjadi jalan kemasyhuran individu belaka. Dengan demikian harta yang kita miliki, akan berbuah sebagai kebaikan yang terus mengalir kepada kita yang dititipkan.

Penulis: Dr. Phil. Saiful Akmal
Penasehat Masjid dan Pusat Budaya Indonesia-Frankfurt

(nh/rl) 

Posting Komentar

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget