LGBT Bukan Gangguan Jiwa ?

Lesbi, Gay, Bisexual, dan Transgender atau yang lebih sering disebut LGBT merupakan istilah yang disematkan kepada individu yang memiliki disorientasi seksual. Keberadaan kaum ini bukanlah hal baru dalam sejarah kehidupan manusia. Puluhan ribu tahun yang lalu bangsa ini juga telah ada. Bangsa Sodom dan Gomora (Amora) adalah dua bangsa yang didiami oleh kaum lesbi dan gay yang hingga saat ini masih bisa disaksikan sisa-sisa petaka yang luar biasa dialami oleh bangsa ini.

Saat ini keberadaan kaum LGBT memunculkan pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat. Para aktivis HAM dan penganut LGBT berupaya sedemikian rupa mengkampanyekan kesetaraan hak dengan argumentasi bahwa LGBT merupakan hal yang alamiah yang terjadi karena faktor genetik, sehat dan mampu mempertahankan hubungan dalam jangka panjang serta beraktivitas seperti layaknya manusia lainnya. Sedangkan bagi sebagian masyarakat yang lain LGBT ini merupakan perilaku menyimpang, bertentangan dengan norma daan nilai agama serta penyakit sosial yang dapat ditularkan.

LGBT merupakan gejala kejiwaan, sehingga dibutuhkan pendekatan disiplin ilmu psikologi untuk dapat menganalisanya. Dalam ilmu psikologi terdapat kitab rujukan yang digunakan untuk mengklasifikasi standar gangguan mental pada manusia yang dikenal dengan nama DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders). DSM ini sendiri ditulis dan diterbitkan oleh APA (American Psychiatric Association).

Saat ini DSM digunakan oleh psikolog dan psikiater diseluruh dunia untuk mengidentifikasi penyimpangan, gangguan, kelainan jiwa pada seseorang. Bukan hanya itu, DSM juga telah dijadikan panduan oleh para dokter, psikolog, psikiatri, peneliti, lembaga riset, perusahan farmasi, perusahaan asuransi bahkan sebagian negara telah menjadikannya sebagai salah satu dasar kebijakan pemerintah.

Di Indonesia sendiri terdapat sebuah panduan tentang gangguan jiwa yang disebut PPDGJ (Pedoman Penggolongan & Diagnosis Gangguan Jiwa). PPDGJ ini merupakan rangkuman dari kitab rujukan  DSM, sehingga dengan kata lain tidak terjadapat perbedaan mencolok antara PPDGJ dengan DSM.

Kitab suci yang tidak lagi suci.

DSM telah mengalami beberapai kali revisi selama perjalanan hidupnya. DSM I (tahun 1952) terdapat 106 jenis gangguan jiwa, DSM II (tahun 1968) terdapat 185 jenis gangguan jiwa, DSM III (tahun 1974) terdapat 265 jenis gangguan jiwa, DSM IV (tahun 1994) terdapat 365 jenis gangguan jiwa, dan sebelum direvisi menjadi DSM V yang digunakan saat ini, DSM IV pernah direvisi menjadi DSM IV/TR (tahun 2000)

Salah satu hal yang menjadi perhatian serius para pakar adalah saat Gay dihapus dari salah satu jenis gangguan jiwa dari DSM III (1974). Banyak rumor yang berkembang bahwa perubahan tersebut dikarena tekanan dan kepentingan pihak-pihak tertentu, terutama dikarenakan sebagian besar anggota Task Force Member penyusun DSM merupakan kaum LGBT. Judith M Glassgold Psy. D (lesbi), Jack Dreschers MD (homoseksual), A. Lee Beckstead Ph.D (homoseksual), Beverly Grerne (lesbi), Robbin Lin Miler Ph.D (bisexual), Roger L Worthington (Normal), dan Clinton Anderson Ph.D (homoseksual).

DSM inilah yang dijadikan dasar kampanye aktivis HAM dan kaum LGBT untuk mendapat pengakuan legal secara hukum dan kesetaraan hak.

Posting Komentar

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget