Tamak, Sebuah Kesalahan Sosial


canindonesia.com - (opini) oleh : Sulaiman Tripa .
Kita sering menemukan anomali dalam hidup. Orang melakukan hal-hal yang tidak boleh, dengan mengelabui pada hal-hal yang boleh. Berbuat jahat dengan terlebih dahulu menampilkan kesan baik. Atau melakukan sesuatu yang sebenarnya batil, melalui jalur yang tampaknya lurus.

Kenyataan ini bisa muncul dalam berbagai level. Tidak hanya di tingkat atas. Jika ingin diurutkan masing-masing dalam kelas sosial yang bernama strata, maka orang-orang yang melakukan hal-hal yang tidak boleh itu, ada dalam berbagai level. Baik level atas, maupun level bawah.

Tidak ada jaminan orang yang sudah memiliki dua mobil (mewah), dengan beberapa rumah (megah), lalu tidak mencoba merampas peng bicah (uang receh) secara tidak berhak. Dan penggambaran ini tidak lantas, bahwa orang yang pada level bawah bisa melakukan hal yang demikian.

Rasuah menjadi satu wajah pada level atas. Bagaimana pelaku dan perilaku mencoleng itu berubah dan beradaptasi melalui berbagai wajah. Sebaliknya, corak perilaku yang lain, tampak seperti penggunaan berbagai bahan kimia dalam makanan yang akan dijaja kepada penjual. Rasuah mendapat untung besar, penjaja makanan yang berbahan kimia mendapat untung secuil. Keduanya sama-sama berimplikasi serius bagi banyak orang.

Itulah yang terjadi pada bulan puasa yang kita lewati. Sejumlah kasus korupsi ditemukan dengan berbagai modus dan coraknya. Lalu temuan penggunaan boraks dan formalin dalam makanan yang sepertinya juga semakin menggelisahkan. Lokasi temuan juga berubah. Dari yang hanya terkontrol di pusat, lalu bergeser ke pinggir. Dari perilaku yang bernilai miliaran, hingga pada angka beberapa juta saja.

Seyogianya setelah sebulan kita melakukan puasa, akan ada perubahan besar sesudahnya. Akan semakin berpengaruh pada keimanan. Sudah seharusnya puasa membuat kita semua semakin mempertebal keimanan dalam hal meluruskan segala niat. Puasa seyogianya menempatkan orang untuk tidak semakin rakus. Kita yang memiliki jabatan, berpeluang rakus terhadap berbagai fasilitas. Sedangkan mereka yang tidak memiliki jabatan, rakus dengan caranya sendiri: ingin untung banyak dari modal yang tidak seberapa.

Corak rakus ini, pada hakikatnya seperti orang tidak percaya akan ketentuan Allah yang sudah menentukan rezeki kita masing-masing. Tidak perlu menipu untuk mendapatkan rezeki bersih. Dengan logika bahwa semua kita sudah memiliki tumpuk masing-masing, maka seharusnya tidak ada yang perlu ditakutkan. Orang-orang yang tidak rakus, memungkinkan tidak menerima apapun selain apa yang menjadi miliknya saja. Bagi yang rakus dan ingin untung besar, bisa jadi karena takut tumpuknya akan hilang. Sedangkan kita yang punya jabatan, memiliki corak lain. Seharusnya tidak perlu meminta, mengiba, memohon, atau bahkan mengancam agar orang lain memberikan fasilitas untuk diri kita. Berbagai fasilitas itu, pada dasarnya sebagai kompensasi atas apa yang dilakukan oleh orang-orang yang sudah seharusnya melayani kepentingan orang banyak.

Ketika ada orang-orang yang sudah digaji secara layak, lalu ditambah pada saat tertentu dengan tambahan gaji ke-13 dan tunjangan hari raya ketika mendekati perayaan hari fitri, namun masih terus juga meminta atau menerima sesuatu dari orang yang dilayani, maka orang itu termasuk dalam kategori rakus itu. Sesungguhnya melebihi dari rakus dan tamak. Orang-orang semacam itu justru sudah menjadikan posisinya untuk mendapatkan sesuatu secara tidak sah. Tidak peduli kompensasi itu dinamakan dengan bahasa yang halus semisal administrasi seikhlasnya, atau semacamnya.

Ketika ada orang yang sudah menempa diri dengan berpuasa, namun belum bisa menahan diri dari godaan ketamakan, maka harus dilakukan refleksi terutama refleksi batin atas ibadah yang sudah dilakukannya. Harus muncul pertanyaan mengapa ketika melaksanakan ibadah yang penuh berkah, ternyata belum bisa memosisikan seseorang untuk mendapatkan keberkahan itu secara sempurna. Posisi ketamakan dan kerakusan akan berlipat ganda apabila untuk bertanya dan berfikir untuk itu saja tidak ada.

Mudah-mudahan Allah menjauhkan ketamakan dan kerakusan ini dari orang-orang yang sudah meningkatkan durasi ibadahnya di bulan muliauntuk kemudian menjadi titik penting bagi waktu selanjutnya untuk berubah.

Hal ini bukan hal main-main. Menerima sesuatu yang berasal dari jalur yang tidak lurus, sangat fatal akibatnya, baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia manusia bisa berkelit dari berbagai pihak yang melakukan pengawasan, bisa berdalih dengan berbagai macam alibi. Akan tetapi tunggulah pengawasan suruhan Pencipta yang tidak bisa berkelit dan berdalih. Semuanya akan secara benderang dinampakkan di depan hidung kita, ketika mahkamah itu sudah sampai masanya.

*Sulaiman Tripa adalah Pengamat Sosial dan Hukum Dari Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala.

Posting Komentar

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget