Isu Pemimpin Perempuan Dan Pemimpin Riba, Relevankah?


canindonesia.com -
Pilkada sejatinya adalah pertarungan ide dan gagasan. Dimulai dengan interaksi positif kandidat dengan masyarakat selama lima tahun sebelum kontestasi dimulai. Namun dalam sistem demokrasi, petarungan itu tidak an sich sekedar ide dan gagasan, melainkan idiologi dalam perpektif masa depan dan, sedikit jual beli. Itulah yang terjadi di dunia, wabil khusus di Aceh sebagai miniatur demokrasi  keberpihakan berdasarkan idiologi. Toolnya adalah ide dan gagasan.
Banda aceh sebagai peserta pilkada pada awal tahun 2017 yang akan datang juga telah melalui tahapan-tahapan pilkada yang cukup menarik. Mulai dari tawaran calon kepala daerah kepada publik untuk dilirik  oleh partai maupun perorangan, juga sambutan positif masyarakat dihiasi intrik yang lazim dalam sebuah demokrasi.
Namun semakin mendekati akhir tahapan pilkada kota Banda Aceh, kontestasi memasuki masa menentukan : calon walikota yang pada awalnya ramai, kini mengekerucut head to head antara Illiza Saadudin Djamal (incumbent) dengan Aminullah Usman. Head to head menjadikan konstetasi semakin tajam dan penting. Masyarakat mendapatkan perbandingan diantara dua calon hingga keniscayaan membuat friksi secara sosial.
Yang ditakutkan dalam sebuah pesta demokrasi adalah black campaign, dan itu yang terjadi. Illiza dan Aminullah Usman terpapar soal serius yang menguras energi dan jauh dari substansi demokrasi.
Adalah Illiza yang menjadi terdakwa atas serangan isue kepemimpinan  perempuan. Isue ini  dimainkan melalui ekspose sosial media dengan cara yang tidak dewasa. Pasalnya, di grass road, terjadi pembentukan opini menyesatkan hingga manipulasi pernyataan narasumber dan tentu dapat berakibat hukum serius kepada pidana umum maupun pidana pemilu/pilkada. Meskipun di kalangan ulama masa lalu terjadi beda pendapat soal kepemimpinan perempuan berdasarkan fiqh, namun isue ini sepertinya efektif menimbulkan sikap emosional masyarakat. Syukurlah, ruang perbedaan pendapat ternyata dilewati begitu indah oleh ulama Aceh masa itu.
Begitupun terhadap Aminullah Usman yang menjadi tertuduh atas jabatan dirinya pernah memimpin perbankan konvensional bernama Bank Aceh untuk sekian lama. Pada masa Aminullah memimpin Bank plat merah ini, Bank Aceh banyak mengalami kemajuan pesat sekaligus menjadi titik lemah Aminullah yang dianggap sukses membangun sistem yang sadar atau tidak sadar bermuatan riba di Aceh yang saat itu belum menjadi sorotan publik. Seiring kemajuan dan intepretasi publik terhadap kesadaran dalam kehidupan beragama, maka Riba bukan hanya dilarang, namun diperangi Allah dan digugat publik sepuluh tahun terakhir. Gerakan anti riba menjadi trend lima tahun terakhir yang mempengaruhi kebijakan Bank Aceh untuk merubah sistemnya dari konvensional menjadi sistem syariah melalui proses konversi yang begitu panjang, rumit dan sikap berat hati sebagian pemerintah daerah sebagai pemilik saham. Aminullah terjebak sebagai Ikon penting Bank Konvensional ini.
Dua isue ini akhirnya menjauhkan kita kepada substansi persoalan di ibu kota Propinsi Aceh. Di sini ada kewajiban masyarakat melalui media untuk menjaga soliditas hingga pasca pilkada. Karena perbedaan pilihan sejatinya tidak mengurangi kewajiban menjaga ibukota propinsi ini sebagai ikon serambi Mekah. Karena bagaimanpun isue Islam dan sekulerisme akan terus berbenturan, terlebih untuk penguasan pengaruh di daerah yang tidak terlepas dari politik nasional.
Penyelesaian persoalan black campign ini tentu tak segampang kita membalikkan telapak tangan. Kepercayaan publik akan muncul bukan dari sikap saling mencari kesalahan, melainkan pelayanan publik dalam orientasi pembangunan keummatan. Illiza sudah menawarkan apa dan Aminullah sudah melakukan apa.  Publik tak perlu mengerutkan kening untuk menilainya. Memilih salah satu berdasarkan fiqh aulawiyat, memilih satu yang lebih Menjamin Keselamatan daripada kerusakan. 

Maka, tak ada pilihan lain, kedua calon kepala daerah yang akan bertarung dalam pesta demokrasi ini harus mampu menunjukkan sikap kenegarawanannya untuk merajut mimpi yang sebentar lagi terbentang untuk diselesaikan. Antara pemimpin perempuan dan pemimpin riba, kita perlu dewasa.   (editorial CAN Indonesia)

Posting Komentar

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget