canindonesia.com
Adalah Teuku Irwan Djohan, politisi Partai
Nasdem Aceh, sosok yang dikenal energik di kalangan anak muda di kota
Banda Aceh. di kalangan musisi dan seniman, nama Irwan Djohan sudah tidak asing
lagi. Beberapa aktivitas kreatifitas anak muda juga kerap disinggahi politisi
muda ini.
Beberapa waktu
terakhir namanya kembali hangat dibicarakan di kalangan politisi Aceh terkait
kesiapannya untuk maju sebagai salah seorang kandidat bakal calon walikota
Banda Aceh yang diusung partainya sendiri, Partai Nasdem.
Bahkan melalui
media lokal di Aceh, Teuku Irwan Djohan menyatakan siap jika partai
memerintahkan dirinya untuk bertarung di kontestasi politik terbesar dan paling
berpengaruhi itu. Namun ternyata kostelasi politik berubah saat Partai Nasdem
mengumumkan dukungan kepada Aminullah
Usman sebagai kandidat calon walikota Banda Aceh. Dinamika ini tentu sangat
mempengaruhi peta perpolitikan ibu kota Serambi Mekah ini. Sebagian lega
sebagian lagi urut dada.
Besarnya
ekspektasi kelompok masyarakat tertentu kepada Irwan Djohan dapat dipahami
mengingat Irwan Djohan adalah petinggi Partai Nasdem Di Kota Banda Aceh dan
pada saat yang sama menjadi pejabat tertinggi di lembaga legislatif setingkat
DPRA.
Dan keputusan Nasdem ini cukup untuk
menghentikan semua spekulasi terkait Teuku Irwan Djohan. Irwan keluar dari
gelanggang dengan beberapa persoalan :
Pertama, Partai
Nasdem terjebak kepada personafikasi kader tertentu dan menafikan dinamika
politik. Rencana pencalonan Irwan Djohan ke kursi Banda Aceh 1 menimbulkan
perdebatan yang serius dalam hitung-hitungan strategis sebuah partai figuritas.
Jika naik harus berhasil merebut Banda
Aceh I, atau jika gagal berisiko kehilangan figuritas tokoh muda energik
seperti seorang Irwan Djohan. Ini adalah
perjudian paling menakutkan. Sedangkan partai Nasdem belum begitu eksis
melahirkan kebijakan startegis populis di propinsi Aceh maupun kota Banda Aceh.
Sementara itu desakan dan propaganda agar
dirinya mencalonkan diri sebagai walikota juga tidak bebas dari upaya
penggembosan internal untuk merebut posisi pimpinan DPRA.
Kedua, Stigmatisasi
transparansi yang pernah identik dengan nama Irwan Djohan akhir-akhir ini
kehilangan gaungnya. Padahal pada awal saat nama Irwan disebut sebagai calon
Walikota Banda Aceh, isue Transparansi menjadi jualan terseksi dengan
kapitalisasi yang bagus sekali.
Sejak beberapa bulan lalu, Irwan tak lagi
mengumumkan gaji dan semua tunjangannya ke publik melalui akun sosial media
resmi miliknya sebagaimana dulu sering dilakukannya dengan mengumkan secara
detail dan rinci. Hal ini mengindikasikan kelelahan yang tak sepatutnya dari
seorang politisi pemula. Sikap transparannya yang berbeda secara hitam-putih dengan
mayoritas anggota legislatif lainnya tidak selalu diterjemahkan sebagai baik
dan jahat. Tapi itulah gambaran profesional dan matang dalam berpolitik yang
masih bisa diperdebatkan. Kali ini Irwan terjebak sanjungan. Transparansi setengah hati dan berbahaya untuk
3 tahun sisa kekuasaannya.
Ketiga, Partai
Nasdem dengan jantan berani mengumumkan
pilkada tanpa mahar yang akhirnya menjadi blunder saat menentukan pasangan
calon untuk kontestasi politik bernama pilkada. Padahal mahar bukan sesuatu
yang diharamkan dalam pernikahan politik. Mahar politik identik dengan
perdagangan yang menghitung rugi laba atas sebuah transaksi politik. Mahar
disini bisa berarti panjar, modal ataupun bagi hasil serta biaya operasional.
Kasus OC Kaligis dan Gatot menyeret nama
Surya Paloh yang diduga mendapatkan siraman dana agar kekuasaan Gubernur
Sumatera Utara itu aman dari rongrongan politik Nasdem, ini bisa disebut bagi
hasil secara sepihak yang kurang menguntungkan Partai Nasdem.
Kesiapan dan ketidaksiapan membayar mahar
politik ini menjadi salah satu variable penting penentuan pasangan calon selain
elektabilitas. Padahal, Teuku Irwan Djohan memiliki elektabilitas kuat meski
masih dibawah elektabilitas Illiza Saadudin Djamal sebagai calon incumbent. Apakah
ini berarti Aminullah membayar mahar lebih besar dan Irwan Djohan tak membawa
apa-apa?
Keempat, Soal Isue politik yang diusung
Irwan Djohan. Sebagai politisi yang baru berkecimpung dalam partai dan langsung menjabat pimpinan DPRA, Irwan Djohan
harus menghela nafas dan memandang satu persatu siapa kawan siapa lawan. Tarikan
nafas pertama biasanya melihat secara hitam putih dan terkadang bereaksi secara
kontraproduktif. Ini juga berlaku bagi politisi yang idiologis.
Irwan memposisikan diri berseberangan
dengan Isue yang sedang digadang-gadang oleh Illiza, khususnya soal pembangunan
masyarakat yang beradab dan terhormat dalam bingkai Islam. Lepas dari pro
kontra kebijakan Illiza ini jika dikaitkan dengan pribadi Illiza, maka
pertarungan opini yang tajam ini membuat Irwan dalam posisi tak menguntungkan. Banda Aceh terlanjur lebih Islami dibanding lima tahun lalu.
Irwan Djohan sama eksisnya dengan Bunda Illiza
di sosial media. Tapi Illiza diuntungkan oleh militansi partai pendukungnya
terutama PKS dalam dunia sosial media yang mengepung 300 ribu warga kota Banda
Aceh, 170 ribu pengguna internet aktif dan tentu saja eksistensi Farid Nyak
Umar di dunia nyata. Irwan Djohan sampai dimana? (editorial CAN Indonesia)
Posting Komentar