canindonesia.com - Kejadiannya serasa baru saja berlalu, Rabu tengah tahun 1972
itu, kelas 4 SD Tringmeuduro - (pedalaman Aceh Selatan) - nyaris kosong yang
datang hanya 6 dari 14 murid, - berhari hari hujan tumpah ruah, air meluap
dan teman teman saya diseberang sungai - tidak dapat menyeberang datang.
Ayah mengatakan tidak ada alasan untuk tidak ke sekolah,
tidak perlu berpayung daun pisang - ke sekolah berpayung hitam (kemewahan kala
itu), dan karena keseharian tidak memakai selop, tiap kali ke sekolah yang mengharuskan
berselop - adalah siksaan bagi telapak kaki.
Dari 6 orang guru hari itu hanya 2 yang datang,
Pak Adam (kepala sekolah), dan Ibu Syahminar. Pak Adam memberi tugas berhitung di kelas 6,
tugas mengarang di kelas 5, dan mengajar sejarah di kelas 4 kami.
Pak Adam mengambil atlas besar yg tergantung di dinding, menggantung
pada papan tulis dan berceritera sejarah
benua Amerika, begitu hidup - seolah pernah ke Dakota, Iowa, dan DC.
sungguh saya terkesima.
Bagi saya pada mulanya Pak Adam adalah sosok berselaput
misteri dikarenakan cara dan logat bahasa yang tidak lazim bagi dialek
Tringmeuduro, - (belakangan saya tahu
beliau berasal dari Bireun, dari Aceh
Utara, datang menjadi guru SD di kampung
kami dan menikah dengan anak Toke
Ganti).
Tringmeuduro 1972 adalah lembah pedalaman yang sejuk, sering
dilingkup kabut pagi, suara gemuruh hewan rimba, rerumputan tumbuh di jalanan tanah, sawah subur dan sungai jernih bebatuan
membiarkan ikan dan udang meliuk sepanjang kaki bukit.
Bila malam luruh, rumah akan diterangi
"panyot", lampu minyak tanah
disangkut di dinding, - (lampu "strong king" hanya dimiliki 2 atau 3
rumah adalah kemewahan tiada tara).
Kalau berjalan malam banyak orang membawa "suwa"
(daun kelapa yg dikeringkan diikat bulat
dan dibakar sambil dikibas kibas, utk menerangi gulita.
Datang dari tempat yang "jauh" butuh 3 hari perjalanan darat kala itu, - Pak
Adam (yang akrab dengan Ayah sesama guru) selalu necis, rambut tersisir rapi
beraroma minyak Tancho.
Kalau mengajar sering berbaju putih terseterika rapi (karena
dikanji dan diblau), bercelana rapi bersandal kulit, rasanya sangat sempurna
(banyak kami ingin menjadi guru sepertinya).
Gaya bertutur yang lembut dan teduh membuat kami merasa
terlindungi dan hormat hingga nyaris tidak berani menatap wajahnya.
Pada akhir pelajaran hari itu - (yang hanya sekitar 50 menit) - , saya ingat
...sambil menatap kami Pak Adam mengatakan perjalanan hidup ini seperti impian,
setiap kalian boleh - dan harus bermimpi setinggi tingginya karena itulah pedoman perjalanan,
tapi impian itu tidak bisa diraih tanpa
pendidikan, dan kelak pada masanya kita ingin maju seperti Amerika, tapi
tetaplah Aceh seperti sediakala, - (ucapan yang kala itu terasa biasa biasa
saja).
Kemarin saya berdiri beberapa meter persis di depan pintu
White House - simbol AS, - serta.. menjadi presenter sebagai bagian
dari salah satu konferensi tahunan bidang paru yang sangat prestisius saat ini
: American Thoracic Society
International Conference - yang diselenggarakan di DC.
DC ibukota Amerika Serikat di musim panas 2017, kota yang
aristrokat, dalam ruangan museum di DC
saya seperti mendengar kembali cerita
Pak Adam - tentang kearifan, kesetiaan pada kaum, kehormatan dan
tragedi kemanusiaan kaum Indian.
Sungguh tidak tergapai dalam imajinasi kanak kanak kala itu -
(saya ingat betul diluar kelas hujan deras mendera dan suara petir bergemuruh
menerkam bumi) - pada akhir ceritera 45 tahun lalu ltu P. Adam mengatakan kita
orang Aceh tidak boleh bernasib Indian, kita ingin maju seperti Amerika, tapi
tetap menjadi Aceh seperti sedia kala.
Di musium DC hari itu
saya terhenyak, 45 tahun yang tertinggal
- rasanya baru saja berlalu. . .
...old teacher never die, he just fade away...
(ditulis oleh DR. dr. Mulyadi Sp. P (K), mantan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala)
Posting Komentar