Quo Vadis Integrasi Agama Dan Negara
canindonesia.com (Opini)
Tema integrasi agama dan politik
atau agama dan negara dewasa ini bukanlah hal baru. Banyak diskusi dan tulisan
yang mengupas tentang tema ini. Dua hal yang selama ini bagi sebagian orang
adalah sesuatu yang mustahil disandingkan secara bersama-sama apalagi saling
melengkapi dalam sebuah tatanan sistem kehidupan dan pemerintahan. Agama yang
dimaksud dalam tulisan ini adalah Islam. Karena Islam sebagai agama yang hadir
membawa konsep komprehensif dan paripurna yang mencakup seluruh aspek
kehidupan.
Pemikiran dan usaha mengintegrasikan
agama dengan politik cukup kuat muncul ditengah masyarakat. Kesadaran beragama
di kalangan intelektual muslim menjadi pendorong utama munculnya gagasan ini.
Namun demikian tak jarang muncul diskusi publik yang tidak konstruktif dan
cenderung tidak sehat ketika membahas agama dan politik. Bagi mereka agama dan
politik adalah dua hal yang berbeda yang tidak mungkin disatukan. Agama
dianggap terlalu suci untuk mencampuri urusan politik dan negara. Tembok-tembok
ritual menjadi pembatas gerak dan aktivitas agama. Mereka meletakkan agama di satu
sisi serta politik dan negara di sisi yang lain.
Seorang inteletual dan pemikir
muslim yang berasal dari Mesir yaitu Syeikh Hasan Al Banna dalam kitab yang
ditulisnya Majmu’atur Rasail
mendefenisikan kata islam dengan sangat utuh dan komprehensif. “Islam adalah
negara dan tanah air, pemerintahan dan umat, ia adalah akhlak dan kekuatan,
kasih sayang dan keadilan, ia adalah wawasan dan perundang-undangan, ilmu
pengetahuan dan peradilan, ia adalah materi dan kekayaan, kerja dan
penghasilan, ia adalah jihad dan dakwah, tentara dan fikrah, sebagaimana ia
adalah akidah yang bersih dan ibadah yang benar.”
Sebagai
seorang pendiri pergerakkan islam terbesar di dunia (Ikhwanul Muslimin), Syeikh
Hasan Al Banna mencoba mengembalikan islam pada makna sesungguhnya yang mencakup
seluruh aspek kehidupan tanpa menolak sebagian dan menerima sebagian yang lain.
“Sedikit sekali anda jumpai orang yang berbicara kepada anda tentang politik
dan islam, kecuali anda akan melihat orang tersebut akan memisahkan dengan
pemisah yang sejauh jauhnya antara politik dan islam. Ia letakkan setiap makna
dari keduanya di sisi yang berbeda” (Hasan Al Banna).
Disinilah
letak perbedaan terbesar antara kaum muslimin dan kaum sekuler dalam memandang
agama dan politik. Dan perbedaan ini akan terus berlangsung hingga akhir zaman
nanti. Mereka berusaha untuk mengaburkan hubungan antara agama dan politik
melalui pemahaman yang keliru. Islam adalah sesuatu dan masalah ekonomi negara
adalah sesuatu yang lain. Islam adalah sesuatu dan masalah energi serta sumber
daya alam adalah sesuatu yang lain. Islam adalah sesuatu dan masalah disintegrasi
bangsa dan teritorial adalah sesuatu yang lain. Islam adalah sesuatu dan
masalah-masalah sosial adalah sesuatu yang lain. Islam adalah sesuatu dan
masalah politik bukan bagian darinya. Demikianlah pemahaman sempit sebagian
dari mereka ketika berbicara agama dan politik.
Sebuah
pertanyan besar yang mungkin perlu dijawab oleh mereka yang menolak keterlibatan
agama dalam politik terutama kaum islam sekuler. Jika islam bukanlah politik,
bukan pula ekonomi, bukan sosial dan kebudayaan, bukan energi dan sumber daya
alam, bukan juga militer dan peradaban, lantas apa itu islam? apakah ia hanya
rakaat-rakaat kosong tanpa makna? apakah ia hanya lafadz-lafadz di bibir tanpa
bisa dirasakan manfaatnya dalam kehidupan? apakah kitab suci al-quran yang
diturunkan hanya berisi penjelasan ibadah ritual saja?
Politik
adalah bagian dari keislaman seorang muslim, atau dengan kata lain belum
sempurna keislaman seorang muslim jika belum menerima politik adalah bagian
dari islam. Konstitusional negara juga telah mengakui islam sebagai agama resmi
melalui undang-undang negara. Sehingga menjadi tidak relevan perdebatan
keterlibatan agama dalam politik dan negara.
Terdapat perbedaan antara politik dan partai
politik sebagai institusi. Keduanya mungkin saja berada dalam satu hal namun
juga dapat berbeda tanpa ikatan satu sama lainnya. Seseorang dapat saja disebut
politikus namun tidak terlibat dalam partai politik. Mungkin pula ada yang
terlibat secara aktif dalam institusi partai politik namun tidak memahami
politik. Atau mungkin ada yang menyatukan kedua hal tersebut dalam dirinya,
sebagi politikus dan sekaligus terlibat secara aktif dalam partai politik.
Sehingga pemahaman agama dan politik tidaklah sempit dalam makna dan koridor partai
politik saja.
Kehadiran
islam dengan makna sebenarnya menjadikan politik dan institusi partai politik
menjadi sumber kebaikan. Karena sesungguhnya dalam islam ada politik namun
politik yang ada padanya terletak pada nilai-nilai yang membawa kebaikan dunia
dan akhirat. Agama dan negara, sebuah relevansi sejarah yang semakin mendapat tempatnya.
Faisal Ibn Saby
Banda Aceh, 7 Januari 2017